Sabtu, 07 Maret 2009

Keyne$, Paradox Sang Revolusioner

Paradox Sang Revolusioner, Keynes§
John Maynard Keynes adalah Godfather intelektual kapitalisme kesejahteraan pasca perang, dan Herbert Marcuse berada di antara pengkritiknya. Maka ada afinitas yang mengejutkan di antara mereka.
Dalam depresi, Keynes menawarkan serangkaian kritik terhadap kebijakan pemerintah tentang laissez-faire, yang memuncak pada The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936).

            Membidik konsepsi ekonomi sebagai entitas regulasi dini, yang merupakan warisan Smith, Keynes menginterpretasikan depresi sebagai satu produk asumsi yang salah bahwa pasar akan menghasilkan lapangan pekerjaan yang memadai pada dirinya sendiri. Dia menawarkan sebuah rasionalisasi ekonomi bagi pemerintah untuk berusaha secara aktif melawan pengangguran dengan meningkatkan level pengeluaran pemerintah. Pada tingkat ketika investasi dan konsumsi pribadi sangat lemah, pemerintah akan menstimulasi aktivitas ekonomi. Pengeluaran pemerintah, menurut Keynes, akan membuat masyarakat bekerja, pengeluaran mereka akan menambah permintaan barang-barang, untuk selanjutnya menciptakan keuntungan yang tinggi yang akan mendorong para pemilik uang untuk berinvestasi dengan mudah. Pengangguran akan lenyap, dan ekonomi akan meningkat. Keynes menjadi ekonom yang sangat berpengaruh di Barat dari tahun 1930-an sampai tahun 1970-an. Terutama karena ia memberikan rasionalisasi saintifik bagi apa yang politisi ingin lakukan, terutama karena ia memberikan kepada para ekonom sebuah angan-angan yang mengkombinasikan antara otoritas tehnik dan tujuan moral yang mulai, dan terutama karena ia menciptakan sebuah gudang senjata bagi konsep ekonomi untuk membuktikan urgensinya, kendatipun banyak juga orang yang tidak sepakat dengan apa yang ia tawarkan. Pada beberapa pujian, John Maynard Keynes adalah personifikasi intelektual abdi sipil, dimana Smith, Hegel, dan Arnold telah lebih dahulu masuk ke dalamnya. Anak dari seorang akademisi sekaligus seoarang aktivis politik ini belajar matematika dan filsafat sebelum belajar ekonomi. Ia menjadi teladan bagi elit universitas administrative, yang membagi waktunya antara mengajar ekonomi di Cambridge dan terlibat di dalam bagian-bagian ekonomi yang beragam dalam melayani publik. Dia juga seorang seniman, yang menggunakan waktu dan uangnya untuk membantu kesenian. Dia membuat seperangkat teori untuk menjaga Inggris (dan negara-negara lain yang membacanya) dari perluasan depresi pengangguran yang dia khawatirkan akan merusak dukungan terhadap demokrasi liberal sebagaimana di Jerman. 
         Kendatipun dia memikirkan tujuan mulia tentang isu tersebut di atas, Keynes tidak menulis secara sistematis tentang konsekuensi budaya, moral, dan social dari kapitalisme. Apa yang dia katakan pada topik ini sangat tidak sistematis dan memiliki banyak kontradiksi. Tapi hal itu berharga untuk sebuah pandangan sekilas terhadap ungkapan tidak sistematisnya, setidak-tidaknya karena mereka memperlihatkan sebuah apresiasi yang tajam akan pertumbuhan ekonomi yang diciptakan oleh kapitalisme, yang akan berdampingan dengan antipati yang sangat ekstrim terhadap sumber-sumber pertumbuhan tersebut. Apa yang menjadi kekhawatiran Smith atau Arnold, bagi Keynes, menjadi satu beban moral untuk dikeluarkan sesegera mungkin. Jika kepala Keynes ada di dalam matematika dan ekonomi Cambridge, maka hatinya ada di Bloomsbury, tetangga London, dimana kearifan kulturalnya dibentuk oleh partisipasinya di dalam lingkungan para artis, musisi, dan penulis terkenal. Visi tentang kehidupan yang baik adalah bangunan estetika yang ideal dan persahabatan yang erat, yang berkombinasi dengan pelayanan publik. Dari puncak Bloomsbury ia memandang kota London. Dari semula, ia menggambarkan harga kemajuan ekonomi sebagai “rentier bourgeoisie,” yang telah mengorbankan seni kesenangan (art of enjoyment) kepada pelipatgandaan tabungan (compound interest). Dalam General Theory, dia menuntut kebijakan pemerintah yang akan sangat menambah ketersediaan kapital, bahwa hal itu hanya akan mendatangkan keuntungan minimal, bahkan akan menciptakan “the euthanasia of rentier.” Jika Keynes terlihat memakai pandangan Smith dan Arnold, maka sentimen-sentimen mendalamnya nampak dekat dengan Marx dan Engels. Sentimen-sentimen ini ada di awal-awal dan juga materi perkuliahan yang dicetak kembali dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1930 sebagai “Economic Prospect for Our Grand Children.” Sebagaimana Schumpeter, Keynes mencatat penampilan kapitalisme di masa lalu yang sangat luar biasa sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi, dan memprediksi bahwa jika perang dan instabilitas internal dapat dihindari, maka masa depannya akan dramatik. Sesungguhnya, Keynes berspekulasi bahwa kemanusiaan berada pada caranya sendiri untuk menyelesaikan prolem ekonominya. Pada beberapa generasi, kebutuhan absolut seseorang terpenuhi, walaupun bukan kebutuhan yang relatif, dalam pengertian bahwa kita merasakan mereka hanya jika kepuasannya mengangkat kita, membuat kita superior, di atas orang lain. Problem masyarakat yang nampak adalah bagaimana menghabiskan waktu luang ketika pekerjaan telah sangat sedikit. 
         Adam Smith menggambarkan aktifitas pasar dimotivasi oleh hasrat untuk memperbaiki posisi manusia di muka bumi . Bagi Smith, motivasi-motivasi di atas bukanlah kejahatan, kendatipun, sebagaimana dalam kasus seorang manusia miskin yang ambisius, hal tersebut tidak kondusif bagi pemenuhan kebahagiaan secara langsung. Banyak pemikir selanjutnya, yang telah teruji, juga mengarah kepada refleksi tentang bahaya moral atau kekecewaan personal terhadap pengejaran harta kekayaan, terutama terhadap harta yang amat berharga, uang. Pandangan Keynes tentang masa depan kembali kepada bahasa kono yang merefleksikan sebuah sensibilitas permusuhan yang lebih akut: “Ketika akumulasi kekayaan tidak lebih banyak dari pentingnya masyarakat, maka akan ada perubahan besar dalam ranah moral. Kita akan dapat membersihkan diri dari banyak prinsip moral semu yang telah merasuki kita selama 200 tahun, dimana kita telah mengagungkan kualitas kemanusiaan yang menjijikkan. Kita akan berani menilai motif uang pada nilai yang sebenarnya. Kecintaan akan uang sebagai milik—dibedakan dari kecintaan akan uang sebagai kekayaan untuk kesenangan dan kenyataan hidup—akan diakui karena apa—agak menjijikkan memang—menyerahkan sesuatu yang semi patologi dan semi kriminal tersebut kepada spesialis dengan mental yang mengerikan.” Problem bagi Keynes, sebagaimana bagi Marx muda, adalah menunda kesenangan, apa yang disebut “purposiveness,” yang dipersingkat untuk lebih memperhatikan di masa yang akan datang melalui tindakan kita daripada dengan kualitas mereka sendiri atau efek-efek instantnya dari pola tingkah laku lingkungan kita sendiri. Dia meremehkan keagungan masa depan di atas masa kini sebagai satu usaha untuk menjaga keabadian khayalan. “Mungkin bukan kebetulan, tentang bangsa yang membawa perjanjian keabadian ke dalam jantung dan esensi agama, kita juga telah banyak melakukan sesuatu karena alasan prinsip kepentingan yang berlipatganda dan terutama karena kecintaan akan institusi-institusi kemanusiaan.” Dia umumkan selanjutnya: “Saya melihat kita bebas….kembali kepada prinsip yang pasti dari nilai tradisi dan agama—bahwa ketamakan adalah sebuah kejahatan, bahwa pemerasan dalam riba adalah tindak pidana, dan kecintaan akan uang adalah menjijikkan, bahwa perjalanan itu benar-benar menuju kebaikan dan kebijaksanaan yang memikirkan masa depan. Kita sekali lagi akan menilai akhir kekayaan dan memilih kebaikan yang berguna. Kita akan memberikan penghormatan kepada yang bisa mengajarkan kita bagaimana menggunakan setiap waktu yang baik, masyarakat yang sangat menyenangkan yang mampu mempersembahkan kesenangan di dalam sesuatu, bunga-bunga lili di taman yang tidak terlalu butuh usaha keras untuk mendapatkaannya, dan juga tidak perlu pusing.”
Itu adalah masa depan dua generasi. Individualisme akan tumbuh dengan subur menghapus yang tidak baik. Bagaimanapun, selama masa itu, kemunafikan moral mendasar yang berada di samping kapitalisme akan terus berlanjut: “kita harus melanjutkan anggapan bahwa keadilan adalah kecurangan dan kecurangan adalah keadilan; karena kecurangan itu berguna dan keadilan tidak. Ketamakan, riba, dan tindakan pencegahan harus menjadi dewa-dewa kita sejauh yang kita mampu. Karena hanya mereka yang dapat mengeluarkan kita dari kegelapan terowongan ekonomi ke dalam keterang-benderangan.” Dalam pada itu, adalah masyarakat seperti teman-teman Bloomsburynya Keyneslah yang merupakan benih masa depan yang terlatih. “Para pialang uang yang kuat mungkin membawa kita semua bersama mereka ke pangkuan ekonomi yang berlimpah,” tandasnya, “ tapi itu akan memasukkan masyarakat, yang mempertahankan hidup, dan mengolahnya ke dalam sebuah kesempurnaan, seni kedupan itu sendiri dan tidak menjual dirinya kepada kekayaan hidup, yang akan dapat menyenangkan keberlimpahan ketika ia datang.”
          Beberapa tahun kemudian dalam bab penutup General Theorynya, Keynes lebih terkendali, memikirkan kembali tulisan-tulisannya bahwa “ada aktivitas-aktivitas manusia yang bernilai yang membutuhkan motivasi yang mendatangkan uang dan lingkungan kekayaan kepemilikan pribadi karena hasil yang diperolehnya,” kendatipun dia memikirkan motivasi making money dapat berfungsi dengan rangsangan yang lebih rendah daripada hari ini. Karena Keynes sama sekali tidak konsisten, sulit untuk mengetahui apakah ungkapan-ungkapan yang lebih hati-hati di dalam General Theory adalah pokok-pokok perhatiannya dan merupakan masa depan ekonomi bagi anak cucu kita yang semata-mata sebuah jeu d’esprit. Penulis biografinya yang terkenal, Robert Skidelsky, menegaskan pandangan yang lebih radikal layaknya “garis-garis pada pemikirannya secara intuitif, dan biasanya, melaju tanpa kekangan tuntutan-tuntutan formal.”
Antipati budaya Keynes untuk menunda kesenangan memiliki pengaruh tertentu pada analisis dan resep ekonominya. Pada abad sebelumnya, Simmel menawarkan sebuah analisis tentang kenapa memiliki uang secara actual lebih berguna daripada memiliki sesuatu yang lain, karena uang dapat dipakai untuk membeli. “Keuntungan uang melebihi objek-objek dimana dia dapat dipertukarkan,” demikian Simmel, “karena pemilik uang memiliki kepuasan psikis yang datang dari pilihan barang-barang yang dapat dibeli dengan uang.” Keynes memfokuskan pada fenomena tersebut, memberikannya sebuah nama saintifik (the marginal propensity to save, kecenderungan marjinal untuk menghemat), menghubungkannya dengan hukuman ekonomi tentang riba, dan menjadikannya penyebab The Great Depression. Dia menegaskan bahwa level tertinggi dari tingkat tabungan bertanggungjawab kepada depresi yang terus-menerus malanda. Masalahnya adalah liquidity preference dari pemilik uang (pilihan mereka untuk berinvestasi secara penuh) untuk menjaga tabungan yang akan diinvestasikan bagi pembukaan lapangan kerja secara penuh. Dia juga percaya bahwa dalam keadaan sekarang ini, penghematan—pengejawantahan moneter dari kesenangan yang tertunda—adalah sebuah nilai kuno, sungguh sebuah kecenderungan yang counterproductive, karena dia menjaga konsumsi pada level yang sangat rendah. Bersamaan dengan kecenderungan untuk menghemat pada level yang tinggi, sekarang hal itu merupakan penghalang bagi investasi, dan oleh karenanya bagi pemenuhan lapangan kerja dan bagi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, “the paradox of thrift”: “dalam kondisi-kondisi kontemporer, pertumbuhan kekayaan, sepanjang bergantung kepada anggapan umum tentang pantangan kekayaan, dihalangi oleh konsep di atas.” Keynes, untuk itu, menyimpulkan bahwa ada kebutuhan akan kontrol sentral untuk membawa persesuaian antara kecenderungan berkonsumsi dan dorongan berinvestasi.
Oleh karenanya, kontrol sentral di atas diharapkan mensosialisasikan ekonomi. Karena Keynes adalah seorang liberal, yang berpendapat senada dengan takaran kebebasan individu dalam kehidupan ekonomi, dia masih berada dalam bayangan John Stuart Mill dan yang akan ditekankan kembali oleh Friedrich Hayek:
“Individualisme, jika saja ia bisa dibersihkan dari cacat dan penyalahgunaannya, adalah penjaga kebebasan terbaik, dibandingkan dengan beberapa sistem yang lain, dalam pengertian bahwa ia secara luar biasa memperlebar wilayah eksperimentasi pilihan personal. Dia juga adalah penjaga terbaik bagi keberagaman hidup, yang secara tepat muncul dari wilayah pilihan personal yang diperluas, dan melepaskan diri dari negara homogen dan totaliter. Karena keberagaman ini menjaga tradisi yang mewujudkan keamanan dan pilihan-pilihan yang berhasil dari generasi-generasi terdahulu, dia mewarnai masa kini dengan diversifikasi angan-angannya, dan membuat eksperimen sebaik tradisi dan angan-angan. Dia adalah instrumen terbaik untuk masa depan terbaik.”
         Keynes mempertahankan perluasan peran pemerintah “hanya sebagai alat praktis untuk menghalangi destruksi bentuk-bentuk ekonomi yang hadir dalam keseluruhannya dan sebagai prasyarat keberhasilan fungsi inisiatif individual.” General Theory adalah sebuah serangan—tidak sebanyak dengan apa yang Smith tulis tentang reduksinya—terhadap dogma laissez faire. Keynes bermaksud membebaskan pikiran-pikiran pengambil kebijakan ekonomi dari ketaatan buta kepada kepercayaan bahwa the invisible hand of the market adalah solusi bagi setiap problem ekonomi—sebuah kepercayaan yang tidak pernah dianut oleh Smith sendiri.
Sebagaimana Smith, Keynes berpikir bahwa para pembuat kebijakan pemerintahan harus mendengarkan para ekonom. Tapi bagi Keynes, pemerintah harus mengganti kerugian akibat kerusakan yang diciptakan oleh ketamakan, riba, dan budaya murahan yang membuat individu-individu sangat hemat dan cenderung untuk menunda kesenangan. Menejmen pemerintahan yang tepat tentang ekonomi melalui tangan-tangan terampil para ekonom secara tehnis akan mewariskan ruang bagi semakin banyak pria dan wanita mengikutsertakan diri mereka untuk tujuan-tujuan budaya dan estetika. “Problem ekonomi,” tulisnya, “akan menjadi satu persoalan bagi para spesialis—seperti kedokteran gigi.”
Sekurang-kurangnya demikianlah. Tapi dia mengulur harapan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama ketamakan tidak akan terkekang melainkan tercerabut sampai ke akar-akarnya, dan bahwa permintaan-permintaan terbatas tentang kesenangan budaya yang tertunda akan dibuat tak berguna oleh perkembangan ekonomi. Dalam beberapa tahun, Herbert Marcuse akan mengeluarkan pendapat bahwa waktu itu sungguh telah tiba. Kedua pemikir tersebut barangkalai terlihat luar biasa dan gemar melawan. Tapi dalam beberapa catatan, ide-ide Marcuse dibaca sebagaimana Keynes—dengan menghilangkan unsur ekonomi.

Artikel ini diterjemahkan secara bebas oleh Saidiman dari subjudul, The Paradox of Keynes, dalam artikel From Keynes to Marcuse: Affluence and Its Discontents (2002), untuk keperluan diskusi ekonomi di Formaci, Mei 2005.

Tidak ada komentar: